Teknologi 3G

by hdnetz , at 08.53.00 , have 0 komentar

Teknologi 3G

Apa yang Anda dapat dari Teknologi 3G ?

Teknologi 3G memungkinkan kita untuk saling bertukar informasi dalam bentuk teks, suara, gambar, dan video live secara cepat sehingga seperti tidak ada jarak antar penggunanya. Bisa dibilang teknologi membuat dunia terasa semakin sempit…pit…pit.
Dengan 3G kita bisa melakukan aplikasi mulai dari mobile internet berkecepatan tinggi hingga 2 Mbps, location-based service, mobile shopping, multi-party video conference, video streaming, click2dial, unified electronic mail, hingga MP3 mobile downloading.

Penerapan Teknologi 3G di Indonesia

Sejak pertengahan tahun 2003 pemerintah mulai membuka tender lisensi 3G walau tanpa publikasi dan konsultasi public terlebih dahulu. Saat ini sudah ada beberapa operator seluler di Indonesia yang mulai menawarkan produk 3G-nya seperti XL dan Telkomsel. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia benar-benar membutuhkan teknologi telekomunikasi canggih ini ? Siapa saja sich yang memerlukan teknologi ini ? Berapa banyak jumlah mereka ? Bagi operator sendiri apakah pasarnya cukup feasible ? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab.
Nada pesimis muncul, akankah kehadiran 3G di Indonesia sukses ? ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pertanyaan ini, diantaranya:
Pemerintah terkesan tiba-tiba membuka tender lisensi 3G pada pertengahan tahun 2003 tanpa publikasi yang cukup dan konsultasi public, padahal seharusnya pemerintah mencari masukan dahulu dari masyarakat agar dipertimbangkan oleh regulator dan akhirnya menjadi kebijakan Negara.
Indonesia mungkin belum saatnya memakai teknologi telepon seluler 3G, Singapura saja sempat menunda implementasi 3G karena membutuhkan investasi yang mahal.
Untuk menikmati teknologi ini dibutuhkan handset yang harganya lebih mahal bagi mayoritas pengguna seluler di Indonesia yang saat ini banyak memakai handset tipe low-end.
Data menunjukkan 70-85% pemasukan operator berasal dari voice, 10-25% berasal dari SMS, sisanya data serta content masih dibawah 5%. Artinya banyak pelanggan yang sudah cukup puas dengan voice dan SMS, mereka tidak membutuhkan aplikasi multimedia yang ba..bi..bu..be..bo. MMS yang terkirim dalam sehari saja baru mencapai angka 20ribuan, sangat jauh dari jumlah SMS. Entah kapan jumlah MMS akan menyamai jumlah SMS.
Yang paling penting adalah soal tarif. Semakin tinggi teknologinya maka semakin mahal tarifnya. Disini banyak pengguna yang berpikir ulang soal biaya yang akan dikeluarkannya.

Lalu, kenapa para operator tetap optimis menerapkan 3G di Indonesia ? Bahkan mereka saling bersaing dan saling mengklaim 3G-nya yang pertama dan tercepat di Indonesia. Mereka tentu sudah punya hitung-hitungan bisnis. Para kaum yang optimis dengan penerapan 3G di Indonesia mempunyai alasan sendiri perlunya 3G di Indonesia. Pertamax, melihat suksesnya DoCoMo di Jepang menerapkan 3G, tapi sebenarnya sukses DoCoMo didukung oleh kebiasaan membaca dan mobilitas masyarakat Jepang yang tinggi. Kedua, Bagi sebagian orang suara dan teks saja tidak cukup, orang membutuhkan gambar dan berbagai paket informasi dan hiburan yang sekaligus menampilkan ketiganya, suara, teks, dan gambar. Ketiga, kebanyakan masyarakat kita senang mengikuti trend gaya hidup baru (walaupun mungkin tidak terlalu dibutuhkan)

Potensi 3G di Indonesia

Ikhlasul Amal berkomentar mengenai 3G di blognya. Menarik, dan wajar sekali jika kita berharap besar dengan teknologi baru ini. Inikah “disruptive technology” tahun ini, seperti email & web yang kemudian merevolusi Internet ?
Sayangnya, 3G bisa jadi menjadi teknologi berikutnya yang cuma sekedar potensi, namun gagal dieksploitasi secara maksimal. Bagaimana bisa ? Bisa saja, jika justru operatornya sendiri yang mensabotasenya.
Kawan saya bercerita bahwa skema bagi hasil berbagai operator mobile phone saat ini sangat timpang, dan mencerminkan kerakusan yang menjatuhkan. Bisnis sebagai content provider (baca: aplikasi kreatif, games, dll) profitnya sangat kecil, karena sebagian besarnya adalah untuk operator.
Kalau kita lihat provider content pada saat ini, jumlahnya tidak sebanyak yang seharusnya, dan variasinya juga tidak berkembang.

Potensi 3G ada pada content. Jika digabung dengan layanan billing (yang, lagi-lagi, skema bagi hasilnya lebih bagus); maka 3G bisa menjadi suatu gebrakan besar.
Contoh yang sangat bagus dalam hal ini bisa kita lihat ke NTT Docomo, operator mobile phone di Jepang. Karena skema bagi hasilnya sangat menggiurkan, otomatis provider content bermunculan dalam jumlah yang sangat banyak. Setiap minggu ada saja inovasi baru yang muncul.
Dan walaupun sekilas kita kira NTT Docomo telah melakukan kebodohan (karena menyerahkan sebagian besar profitnya kepada content provider), namun sebetulnya justru untung besar; karena (profit kecil x volume transaksi besar) = profit besar.

Mari sekarang kita berharap agar operator-operator yang ada mau memanfaatkan momen ini (launching 3G) untuk mengevaluasi ulang skema bagi hasilnya dengan content provider.
Jika kemudian bisa diadakan skema bagi hasil yang menarik, maka bersiap-siaplah menikmati inovasi dan terobosan-terobosan baru berbasis 3G !

Kekalahan 3G, Kemenangan WiFi di Kawasan Eropa

KEBETULAN saya diminta duduk sebagai anggota Board of Advisor dari Open Spectrum Foundation (http://www.openspectrum.info), sebuah organisasi pimpinan Robert Horvitz dari Praha, Ceko, yang memfokuskan obyektifnya untuk membebaskan spektrum frekuensi, terutama untuk teknologi seperti WiFi dan WiMAX di dunia.
Tanggal 26 Mei 2005, Board of Advisor Open Spectrum Foundation mengadakan pertemuan di London, Inggris, di University of Westminster Cavendish Campus yang terletak di pusat kota London. Hadir pada kesempatan tersebut beberapa orang penting yang merupakan Board of Advisor Open Spectrum Foundation, seperti Michael Marcus, bekas FCC (Federal Communications Commision) Amerika Serikat, sebagai otak di balik unlicense ISM band di AS; Dewayne Hendricks salah seorang pemberontak WiFi di AS yang di juluki Cowboy WiFi oleh Wired Magazine; serta John Wilson, pemimpin Open Spectrum UK. Dewayne Hendricks juga merupakan mitra Larry Lessig, salah satu tokoh utama Cyber Law dunia yang berusaha membebaskan frekuensi di AS menjadi spektrum unlicense.
Pada kesempatan tersebut kami berinteraksi dengan masyarakat Wireless di Inggris, termasuk para pejabat tinggi OfComm (Office of Communications) yang merupakan FCC-nya Inggris. Pejabat OfComm yang hadir, antara lain William Webb, Kepala R&D OfComm; dan Hazel Canter, salah satu tokoh senior OfComm. Di samping itu, juga hadir beberapa tokoh penting, seperti Peter Cochrane, bekas CTO British Telecomm yang merupakan salah seorang visionary di dunia yang menulis buku Uncommon Sense New Tips For Time Travellers; Charles Bass dari Wales dan Godron Adgey dari Devon, dan banyak aktivis bawah tanah WiFi di Inggris yang dulu saya sempat bertemu di Djursland, Denmark, September 2004.
Ada beberapa hal penting yang menarik untuk disimak dalam beberapa pertemuan ini. Saya cukup kaget mendengar hampir semua orang-orang penting yang hadir berpendepat bahwa 3G gagal. Investasi dan biaya mahal yang dikeluarkan oleh operator 3G tidak berhasil membuat booming bisnis 3G di Eropa.
Memang infrastruktur 3G berhasil mereka buat, tapi tidak banyak orang yang berlangganan 3G. Entah apa yang akan terjadi dengan perusahaan-perusahaan 3G, yang pasti kemungkinan besar sebagian besar perusahaan-perusahaan ini akan collapse karena akan sangat sulit sekali untuk mengembalikan modal investasi dan biaya izin yang mahal.
TEKNOLOGI 3G yang menjanjikan infrastruktur untuk mobile data kecepatan tinggi, 2 mbps, pada kenyataan di lapangan tidak mampu untuk memenuhi secara 100 persen kecepatan 2 mbps karena infrastruktur data tersebut harus di-share dengan pengguna lainnya. Sehingga throughput normal yang akan diperoleh biasanya tidak sampai 100 kbps.
Para pengguna 3G di Eropa sering kali hanya mengejar handphone 3G yang diberikan secara gratis oleh operator 3G. Untuk apa? Jangan kaget ternyata untuk memperoleh kamera handphone yang baik karena dapat menghasilkan gambar yang baik. Tentunya untuk menghemat pulsa umumnya para pelanggan ini tidak menggunakan 3G untuk mengirimkan gambarnya.
Cara yang sering dilakukan adalah menggunakan Bluetooth untuk mentransfer gambar tersebut ke PC untuk kemudian mengirimkannya menggunakan WiFi yang ada di PC ke internet. Solusi ini jauh lebih murah daripada menggunakan infrastruktur 3G.
Berbeda dengan 3G yang investasinya mahal dan diperoleh izinnya dengan membayar mahal ke pemerintah. WiFi yang biaya investasinya jauh lebih murah telah menjamur. Cukup mudah untuk memperoleh jasa WiFi di London. Memang tidak semua gratis, sebagian membayar sekitar 10 poundsterling (sekitar Rp 170.000) untuk dapat di akses 24 jam. Cukup mahal untuk ukuran orang Indonesia biasa.
ISU yang menjadi besar dari WiFi adalah masalah daya (transmitter power) terutama untuk digunakan di wilayah pedesaan sebagai tulang punggung jaringan di pedesaan. Solusi yang diusulkan dan tampaknya cukup diterima oleh OfComm Inggris adalah setiap kenaikan kekuatan antena sebesar dua kali (menjadi 3 dB) maka daya pancar harus diturunkan 1/4 kali (atau sekitar 1 dB). Dengan cara menurunkan daya pancar setiap kenaikan dua kali kekuatan antena akan menjamin gangguan yang tidak besar di sekitar kita.
Hal lain yang menarik adalah logika berpikir dalam proses unlicensing band. Kita di Indonesia tampaknya selalu terperangkap dalam paradigma berpikir, semua frekuensi harus diatur dan dikontrol dengan ketat oleh pemerintah, selain memang pemerintah melihat frekuensi sebagai sumber pendapatan yang lumayan besar.
Logika berpikir yang menjadi dasar pengalokasian frekuensi terutama adalah masalah asas manfaat bagi rakyat. Jika pemberian frekuensi akan bermanfaat bagi banyak orang, maka proses pemberian lisensi akan dilakukan. Semakin banyak pengguna yang akan memperoleh manfaat dari adanya servis di sebuah frekuensi akan semakin menarik bagi pemerintah untuk mengalokasikannya. Dengan logika sederhana ini, tidak mengherankan jika pemerintah justru cenderung untuk membuka unlicense band karena jelas-jelas terbukti bermanfaat bagi rakyat banyak.
Yang justru dipertanyakan adalah lisensi yang diberikan pada perusahaan atau operator penyelenggara jasa. Sebagai contoh, incumbent di Inggris tampaknya tidak berbeda dengan incumbent di mana saja. Mereka akan cenderung untuk berusaha memperoleh sebanyak mungkin frekuensi dan pada akhirnya akan mematikan usaha-usaha kecil dan rakyat yang ingin menggunakan frekuensi.
Dalam diskusi dengan teman- teman dari OfComm (FCC-nya Inggris), ternyata OfComm akan membebaskan lebih banyak lagi frekuensi menjadi unlicensed band (Open Spectrum). Pada hari ini memang baru 6 persen dari frekuensi yang merupakan Open Spectrum. Target yang sedang dilakukan untuk menaikkan menjadi 7-8 persen frekuensi menjadi Open Spectrum di tahun 2010.
Bayangkan betapa cerianya para pemain internet wireless di Inggris dan Eropa. Justru para incumbent menjadi sasaran audit tentang efektivitas penggunaan frekuensinya apakah benar-benar bermanfaat untuk rakyat?
Yang menjadi pemikiran bagi saya setelah bertemu dengan para aktivis Open Spectrum tingkat dunia adalah perlukah Indonesia bersusah payah menggalang investasi 3G yang di awalnya saja telah membuat keruh suasana dengan penjualan saham yang tidak baik. Pelajaran yang perlu dipetik dari OfComm Inggris adalah keberpihakan Pemerintah pada rakyat yang justru terus membuka frekuensi-frekuensi baru menjadi Open Spectrum. Bagi para pengguna WiFi mungkin cukup memahami bahwa band 2,4 GHz untuk di Eropa jauh lebih lebar daripada di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa Inggris dan Eropa lebih progresif daripada Amerika Serikat.
Satu hal yang mereka (Amerika dan Eropa) perlu belajar dari Indonesia adalah teknik pemberdayaan rakyat secara swadaya masyarakat dan perjuangan membebaskan frekuensi 2,4 GHz yang dilakukan secara hampir anarkis, tapi berhasil dengan baik di Indonesia setelah berjuang lebih dari 12 tahun. Hal ini menjadi bahan masukan Open Spectrum Foundation dan banyak rekan negara maju yang menanyakan tentang bagaimana cara mendobrak birokrasi di negara berkembang yang pemerintahnya korup.

Persaingan Ketat

Perlombaaan pengembangan layanan 3G, khususnya di jalur seluler ini, tampaknya lebih pada pengejewantahan WCDMA 3G. Meski, sebenarnya, WCDMA bukan jalur migrasi CDMA ke 3G, begitu juga bukan jalur langsung GSM ke 3G, banyak kalangan menilai bahwa WCDMA, sesungguhnya tak lebih cepat dibandingkan CDMA 2000-1X EVDO/EVDV. Namun, sebagian besar operator GSM masih tetap bersikukuh untuk menggunakan jalur WCDMA ini dalam menyediakan layanan 3G.
Di sisi lain, ada sebagian yang mencoba untuk menggabungkan antara GSM dan CDMA dengan menampilkan jaringan berteknologi canggih yang mereka sebut GSM-1x, yang mencangkokkan fasilitas CDMA 2000-1X ke ponsel GSM. Jalur WCDMA ini diperkirakan akan semakin banyak ditempuh, bahkan untuk menuju ke HSDPA yang konon katanya dapat mentransmisikan data hingga kecepatan 14,4 Mbps. Hanya saja, HSDPA ini dianggap bukan lagi 3G, melainkan sudah 3,5G, atau bahkan 4G.
Tak semua penerapan 3G memberi hasil sebagaimana diharapkan. Meski begitu, Wireless World Forum men ampilkan gambaran yang cukup optimis, dimana pelanggan 3G global diperkirakan akan meningkat dari 45 juta (2004) menjadi 85 juta pada 2005. Hal ini, terutama karena GSM memiliki jumlah pelanggan yang sangat banyak dan luas, yakni telah menjangkau lebih dari 200 negara dengan lebih 1,25 miliar pengguna, sedang CDMA 202 juta dan TDMA 120 juta.
Kalau dilihat dari wilayah atau negara, hanya Jepang dan Korea saja yang dianggap mampu mendongkrak para pelanggan 3G cukup tingi dan berbeda hasilnya dengan kasus Eropa, meskipun Eropa telah menggelar jaringan 3G yang boleh dikata paling luas. Di Amerika, diperkirakan tak kurang dari 55% para pebisnis dari perusahaan-perusahaan besar pada 2006 mendatang akan menggunakan 3G. Tetapi, jumlah itu masih relatif jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Jepang dan Korea.
Hingga saat ini, perkembangan 3G yang paling marak di dunia boleh dikata ya di Jepang. Operator NTT DoCoMo, yang menerapkan 3G mulai Oktober 2001, kini sudah memiliki basis pelanggan 3G terbesar, yang kemudian bersama dengan KDDI, menempatkan Jepang sebagai negara dengan pelanggan 3G terbesar di dunia.
NTT DoCoMo, yang memiliki 49,25 juta pelanggan, pelanggan 3G-nya telah mencapai 12,88 juta (Juni 2005), terutama setelah ketersediaan ponsel, cakupan area layanan dan kehandalan ponselnya ditingkatkan. Ponselnya sendiri dijual dengan harga US$96 atau kurang dari Rp.1 juta. Selain itu, NTT DoCoMo juga melebarkan rentang pasarnya, yang semula hanya untuk kelas atas, kini menjadi kelas menengah ke atas.
Sementara KDDI Corp., yang pelanggan selulernya sekitar 20 juta, namun pelanggan 3G-nya sudah mencapai 18,49 juta atau 92% pelanggan seluler. Padahal, KDDI meluncurkan layanan 3G-nya justru lebih lambat dibandingkan NTT DoCoMo, yakni baru awal 2002.
Namun, layanan 3G yang dikembangkan di Jepang, meskipun menggunakan teknologi W-CDMA, dianggap tidak kompatibel dengan standar UMTS ( Universal Mobile Telecommunications System ). Layanan 3G di Jepang yang mengusung merek FOMA ( Freedom of Mobile Multimedia Access ), yang merupakan penerapan jaringan WCDMA komersial pertama di dunia, sebelumnya hanya eksklusif untuk digunakan di Jepang saja dan tidak menyediakan roaming global. Namun, saat ini, mereka telah mengikuti standar UMTS, sehingga memungkinkan dilakukannya roaming global.
Ketika banyak mata masih melihat ke Jepang, Korea Selatan, yang dianggap sebagai negara pertama menerapkan 3G, terutama ketika Juni 2001 tiga operator negeri ginseng (SK Telecom, KT Freetel dan LG Telecom) menerapkan jaringan 3G yang disebut cdma2000 1xRTT , penetrasi pelanggan 3G-nya meningkat cukup tinggi. Dari sekitar 34 juta pelanggan telepon seluler, 30 juta di antaranya telah menggunakan layanan 3G (termasuk pelanggan 1xRTT). Bahkan, hingga pertengahan 2002, kecepatan transmisi datanya telah meningkat mencapai rata-rata 500-600 Kbps, utamanya setelah operator menerapkan 1xEV.”
Sebaliknya, di Eropa, dimana penerapan jaringan 3G-nya boleh dikata paling luas, namun jumlah pelanggannya masih belum seperti diharapkan. Dengan tidak memasukkan pelanggan layanan 3G Jepang, yang mencapai 31,5 juta, maka pelanggan 3G UMTS dunia diperkirakan mencapai 19 juta awal tahun 2005. Dari jumlah itu, Eropa mengklaim bahwa jumlah pelanggannya mencapai sepertiganya atau 6,33 juta. Padahal, tak kurang dari 100 lisensi 3G telah dikeluarkan di 40 negara di kawasan tersebut. Malah, tahun 2005 ini akan lebih banyak lisensi yang dikeluarkan, termasuk di kawasan Rusia.
Cina, yang memiliki sekitar 282 juta pengguna GSM, dianggap memiliki potensi besar untuk meraih sukses penerapan teknologi 3G. Sampai Januari 2005, jumlah pelanggan seluler (GSM/CDMA)-nya telah mencapai 320 juta, yang berarti telah melampaui jumlah pelanggan telepon tetapnya. Sedang lisensi 3G-nya diperkirakan terbit tahun ini, yang mencakup teknologi WCDMA, CDMA dan TD-SCDMA.
Kawasan lain yang dianggap potensial untuk 3G adalah Amerika Serikat, terutama yang berbasis teknologi WCDMA. Saat ini, umumnya operator menerapkan teknologi CDMA dan GSM/EDGE. Diharapkan, tahun depan ini, perkembangan 3G di Amerika akan berkembang pesat, mengingat jumlah pengguna GSM/CDMA-nya sangat besar.

Kesulitan implementasi 3G di Indonesia

Tanggal 23 dan 24 Februari 2006 kami mengadakan diskusi (sharing vision) mengenai layanan 3G di Indonesia. Acaranya dilakukan di Hotel Preanger dengan peserta dari berbagai pelaku telekomunikasi (yang baru saja mendapat lisensi 3 G di Indonesia). Sayang apabila lisensi 3G yang ada tidak berhasil menghasilkan bisnis bagi para pemilik lisensinya.
Kami mengambil sebuah kasus layanan download musik untuk melihat apa saja kesulitan untuk meluncurkan layanan ini. Mari kita lihat satu persatu.

Device
Harga masih mahal. Jika harga sudah mencapai Rp 1,5 juta baru akan terjadi “tipping point” dimana layanan akan diserbu pengguna.
Batere handset 3G saat ini masih cepat habis.
Menu, aplikasi, dan software yang ada di handset 3G saat ini masih sulit dipersonalisasi dan kurang user friendly. Yang ada saat ini sepertinya hanya memindahkan menu yang ada di handset GSM saja.
Layar masih belum nyaman untuk beberapa aplikasi
Aplikasi

Aplikasi tidak tersedia dalam handset sehingga harus dipasang dahulu. Hal ini bisa menjadi ganjalan untuk pengguna yang tidak terlalu paham masalah teknis.
Content masih sangat terbatas dan belum memenuhi kebutuhan komunitas / kultur.
Kebanyakan aplikasi masih terpengaruh dengan layanan GSM
People

Nampaknya harus ada segmentasi (usia, genre).
Pricing

Diperkirakan adalah Rp 5000,-/download.
Bisa juga dilakukan dengan bundling.
Bisa juga bergantung kepada jenis musik (genre). Dengan kata lain ada subsidi silang.
Partnership

Sebaiknya ada one stop partner sehingga memudahkan operator.

Teknologi 3G

Salah satu alasan mengapa layanan 3G dapat memberikan throughput yang lebih besar adalah karena penggunaan teknologi spektrum tersebar yang memungkinkan data masukan yang hendak ditransimisikan disebar di seluruh spektrum frekuensi. Selain mendapatkan pita lebar yang lebih besar, layanan berbasis spektrum tersebar jauh lebih aman daripada timeslot dan/atau frequency slot.
Jaringan 3G tidak merupakan upgrade dari 2G; operator 2G yang berafiliasi dengan 3PP perlu untuk mengganti banyak komponen untuk bisa memberikan layanan 3G. Sedangkan operator 2G yang berafiliasi dengan teknologi 3GPP2 lebih mudah dalam upgrade ke 3G karena berbagai network element nya sudah didesain untuk ke arah layanan nirkabel pita lebar (broadband wireless). Layanan 3G juga telah digembar-gemborkan namun pada kenyataannya, banyak ditemui kegagalan. Negara Jepang dan Korea Selatan adalah contoh dimana layanan 3G berhasil. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh faktor:
Dukungan pemerintah. Pemerintah Jepang tidak mengenakan biaya di muka (upfront fee) atas penggunaan lisensi spektrum 3G atas operator-operator di Jepang (ada tiga operator: NTT Docomo, KDDI dan Vodafone). Sedangkan pemerintah Korea Selatan, walau pun mengenakan biaya di muka, memberikan insentif dan bantuan dalam pengembangan nirkabel pita lebar (Korea Selatan adalah negara yang menggunakan Cisco Gigabit Switch Router terbanyak di dunia) sebagai bagian dalam strategi pengembangan infrastruktur.
Kultur masyarakatnya. Layanan video call, yang diramal menjadi killer application tidak terlalu banyak digunakan di kedua negara tersebut. Namun, layanan seperti download music dan akses Internet sangat digemari. Operator seperti NTT Docomo (Jepang) memberikan layanan Chaku Uta untuk download music. Sedangkan di Korea, layanan web presence seperti Cyworld yang diberikan oleh SK Tel, sangat digemari. Dengan layanan ini, pelanggan bisa mengmbil foto dari handset dan langsung memuatnya ke web portal miliknya di Cyworld. Layanan ini kemudian ditiru oleh Flickr dengan handset N73.
Keragaman layanan konten. Docomo dan SKTel tidak menggunakan WAP standar sebagai layanan konten nya. Docomo mengembangkan aplikasi browser yang disebut iMode, sedangkan SKTel mempunyai June dan Nate.

Standar Telekomunikasi 3G

DALAM menghadapi proses audit lisensi frekuensi 3G (generasi ketiga telekomunikasi bergerak) yang akan dilakukan pemerintah, penting untuk kita mencoba mengerti dulu apakah sebenarnya obyek yang akan diaudit. Dalam proses audit yang baik, di langkah awal kita akan berusaha mengerti dulu obyek audit kita sebelum scope audit dibuat dan proses audit dimulai.
NAH sekarang, sebelum kita tersesat dalam melakukan proses audit dan sampai kepada audit finding yang sama sekali tidak membantu kemajuan perkembangan telekomunikasi di Tanah Air, mari kita coba lihat apakah sebenarnya calon obyek audit yang dinamakan 3G ini?
Sebenarnya penggunaan akronim 3G di dalam perkembangan dunia telekomunikasi diawali dari dimulainya pemikiran yang mencoba membuat standar konvergensi dari telekomunikasi seluler voice (suara) dan data pada sekitar tahun 1996-1997. Mereka yang memikirkan hal ini, dalam perkembangannya, menyebut konsep konvergensi ini sebagai generasi ketiga (3G) dari perkembangan teknologi telekomunikasi seluler.
Di mana generasi keduanya (2G) ditandai dengan berkembangnya teknologi seluler digital (dengan leader-nya adalah teknologi GSM) dan generasi pertamanya (1G) ditandai dengan kelahiran teknologi seluler analog (yang terkenal dengan AMPS-nya). Jadi, 3G adalah generasi terkini dari perkembangan teknologi seluler.
TEKNOLOGI-teknologi seluler yang termasuk generasi ketiga ini sejarahnya berkembang sendiri-sendiri sebelum akhirnya menyatu menjadi dua standar utama yang mengacu kepada IMT-2000 yang merupakan ketetapan ITU-T (Badan Uni Telekomunikasi Internasional yang mengurusi standardisasi telekomunikasi).
Dua standar teknologi ini diusung oleh dua partnership organization yang beranggotakan badan-badan standardisasi regional, yaitu (1) The Third Generation Partnership Project (3GPP) dan (2) The Third Generation Partnership Project 2 (3GPP2).
3GPP terbentuk akhir tahun 1998 dengan anggota-anggotanya adalah badan standardisasi dari Jepang (ARIB dan TTC), China (CCSA), Eropa (ETSI), Amerika Serikat (ATIS), dan Korea (TTA). Partnership ini dibentuk dengan tujuan membentuk standar spesifikasi teknis untuk evolusi teknologi GSM (2G) ke 3G (yang kita kenal sebagai teknologi UMTS). Dari 3GPP inilah keluar berbagai teknologi “antara” yang secara jujur membuat kita pusing dengan penamaan 3G, seperti teknologi GPRS dan EDGE (enhanced data rates for GSM evolution).
Pada masa sekarang ini keluarlah berbagai penamaan seperti 2,5G dan 2,75G yang sebenarnya adalah penamaan untuk GPRS (2,5G) dan EDGE (2,75G). Di Indonesia sementara ini pengikut perkembangan teknologi dari faham/aliran 3GPP adalah semua existing GSM operator seperti XL, Indosat, dan Telkomsel.
Adapun 3GPP2 terbentuk sebagai saudara muda dari 3GPP beranggotakan badan-badan standardisasi dari Jepang (ARIB dan TTC), China (CCSA), Amerika Serikat (TIA), dan Korea (TTA). Kerja sama ini lahir karena kekurangpuasan atas kecepatan perkembangan dari 3GPP. Perkembangan yang lumayan pelan di standardisasi 3GPP partnership bisa dimaklumi karena tugas berat dari partnership ini untuk selalu menemukan atau membuat jembatan penghubung dari GSM sekarang ini ke standar 3G yang dibuat.
Sedangkan 3GPP2 secara murni mengembangkan standar teknologinya tanpa melihat apa yang sekarang sudah ada dan dimiliki oleh GSM teknologi. 3GPP2 partnership mengembangkan standar mereka yang sekarang kita kenal sebagai standar CDMA 2000, yang di Indonesia dianut/diikuti oleh para penyelenggara jasa layanan telekomunikasi (baik yang mengaku mobile cellular maupun yang mengaku fixed wireless telephone) seperti Esia, StarOne, Mobile-8, dan TelkomFlexi.
Walaupun di luar Indonesia 3GPP2 tidak banyak membuat kepusingan, ternyata di Indonesia perkembangan CDMA 2000 ini lumayan cukup membuat pusing orang yang ingin mencoba mengerti. Pada saat sekarang ini teknologi berbasis CDMA 2000 terlihat paling tidak ada di tiga tempat. Pertama sebagai teknologi fixed wireless telephone, kedua sebagai teknologi belum 3G (lihat Mobile-8), dan ketiga sebagai teknologi 3G yang mungkin akan diadopsi oleh CAC, WIN, maupun Natrindo sebagai pemegang lisensi dan frekuensi 3G di Indonesia.
CDMA 2000, terutama CDMA 2000 1xEVDO, tidak kalah canggih dibandingkan dengan EDGE dari GSM. Dan kembali lagi kita harus jujur, susah bagi kita membedakan antara operator bukan 3G dan operator 3G kalau teknologi yang digunakan sudah dari dua jenis teknologi ini. Fakta yang lebih menarik lagi ternyata operator 3G terbesar di Jepang (Au dari KDDI) ternyata menggunakan teknologi CDMA 2000 1xEVDO. Sedangkan Vodafone Jepang yang jelas-jelas menggunakan teknologi 3G, WCDMA, hanya bisa bermain sebagai pemain paling bontot di bawah FOMA, layanan 3G dari NTT DoCoMo (berbasiskan turunan dari WCDMA) yang berada di posisi kedua.
TERLIHAT di sini bahwa scope audit yang ingin dilakukan pemerintah mencoba mengacu terhadap teknologinya, ini merupakan suatu tantangan yang berat. It is challenging, untuk pemerintah bisa meletakkan garis batas yang jelas antara kelompok mana yang harus diaudit dan kelompok mana yang tidak termasuk dalam proses audit. Salah-salah dalam menentukan scope audit bisa-bisa hal ini akan melemahkan semangat industri telekomunikasi seluler di Indonesia untuk berkembang.
Alternatif lain yang bisa menjanjikan untuk kita mendapatkan scope audit yang bermanfaat bagi perkembangan dunia telekomunikasi di Indonesia adalah dengan melihat 3G dari sisi alokasi frekuensinya. Walaupun ini tidak mudah seperti yang terlihat di figur 1, dari sini bisa kita mendekatkan diri ke core permasalahan yang sekarang sedang hangat di Indonesia, yaitu mengenai Cyber Access Communication (CAC), Lippo Telcom (Natrindo), dan keterbatasan frekuensi.
Sekarang coba kita lihat figur 1, di baris pertama terlihat pembagian pita frekuensi 3G seperti yang telah dibuat oleh ITU-T. Frekuensi untuk IMT-2000 adalah area yang secara gampangnya kita sebut sebagai area 3G untuk telekomunikasi seluler dan area MSS adalah area 3G untuk mobile satellite system.
Harap diingat, ITU-T berusaha untuk membuat standar, tetapi pelaksanaan dari masing-masing negara anggotanya tergantung dari kesepakatan badan standar nasional atau regional mereka masing-masing. Dan bisa terlihat dari figur 1 ini, Amerika Serikat mengalokasikan pita frekuensi 3G mereka untuk PCS dan MSS yang terlihat sangat berbeda dari rekan-rekannya di Eropa dan Asia Pasifik.
Telekomunikasi di Indonesia secara klasik menganut faham Eropa sehingga bisa terlihat peta pembagian frekuensi seluler kita di Tanah Air mendekati general practice yang berlaku di Eropa dan Asia Pasifik (lihat di figur 1 di baris tengah).
Kalau pendekatan pembagian pita frekuensi seluler dari Eropa yang kita ikuti, maka peta industri telekomunikasi kita menjadi lebih jelas: Telkomsel, Indosat, XL, dan Mobile-8 ada di pita frekuensi GSM (generasi 2G, 2,5G, dan 2,75G). CAC, Lippo Telcom (Natrindo), TelkomFlexi, dan WIN ada di pita frekuensi UMTS (3G). TDD dan DECT ada di luar pita frekuensi UMTS dan secara gampang bisa dianggap bukan 3G.
Sekarang secara kurang lebihnya kita sudah tambah mengerti obyek auditnya, tinggal keahlian dari auditor tim yang akan dibentuk nanti yang akan diuji untuk bisa menentukan scope audit yang benar-benar bisa memberi nilai tambah terhadap perkembangan telekomunikasi di Indonesia dan bukannya malah membuat tersesat.



Penulis:
Dev Yusmananda, pernah bekerja di McKinsey & Company dan sekarang menjadi manajer senior pada salah satu operator seluler di Jakarta

[diambil dari http://www.kompas.com]


 Teknologi 3G
Teknologi 3G - written by hdnetz , published at 08.53.00, categorized as Teknologi Informasi . And have 0 komentar
No comment Add a comment
Cancel Reply
GetID
Copyright ©2013 Knowledge for Life by
Theme designed by Damzaky - Published by Proyek-Template
Powered by Blogger
-->