Pandai, Pintar dan Cerdas
Pandai saya maknai sebagai orang yang mampu memanfaatkan kemampuan otak kirinya secara baik. Otak kiri akan mendorong orang untuk melakukan analisa-analisa, membuat perhitungan-perhitungan dan mengambil keputusan. Biasanya orang yang mampu memaksimalkan otak kiri akan mendapatkan nilai atau rangkin yang bagus dikelasnya.
Pintar saya maknai sebagai orang yang mampu memanfaatkan kemampuan otak kanannya. Yang membuatnya memiliki sikap kreatif, imajinatif dan variatif. Sedangkan cerdas saya maknai orang yang mampu memanfaatkan secara menyeluruh antara kemampuan otak kanan dan otak kiri.
So, ini hanya klasifikasi-klasifikasi menurut persepsi saya, karena begitulah tuntutan otak kiri saya.
Cara pandang (paradigma) kita, tidak selalu terkait dengan keadaan di luar diri kita, namun juga ada yang terpengaruh oleh keadaan yang ada dalam diri kita. Cara berpikir yang terbiasa dengan otak kiri akan berbeda dengan cara berpikir orang yang terbiasa menggunakan otak kanan.
Pandai dalam kelas-kelas sekolah, mendapatkan nilai bagus dan mendapatkan rangkin satu bukan merupakan ukuran seseorang menjadi sukses atau tidak, juga bukan ukuran dia akan menjadi cerdas atau tidak.
Orang pandai belum tentu pintar, orang pintar belum tentu pandai, dan orang cerdas perlu belajar terus-menerus untuk mengembangkan kepandaian dan kepintarannya.
Beriku ini adalah kisah orang terkenal berkaitan dengan fakta perbedaan paradigma.
Henri Ford pendiri Ford Motor Company, pengusaha sukses yang hanya tamat sekolah dasar (SD), karena kondisi ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan Ford melanjutkan ke SLTP.
Pada era perang dunia kedua ketika bisnisnya sudah menjadi bisnis besar, Henry Ford pernah mengalami peristiwa yang bisa menggugah cara pandang kita (paradigma) tentang makna “terdidik” dan “berpendidikan”.
Cerita ini di tulis oleh Napoleon Hill penulis buku laris “Berpikir dan menjadi Kaya” yang juga merupakan sahabat Henry Ford.
Henry Ford menggugat Koran Chicago Tribune atas pemberitaan terkait Ford yang dianggap sebagai “ignoramus” atau bersikap pasif dan tidak tahu apa-apa atau tidak mau tahu terhadap kepentingan Negara saat terjadi peperangan. Ada kejadian yang sangat menarik ketika gugatan masuk ke dalam pengadilan.
Para pengacara Chicago Tribune mengajukan bukti-bukti yang di dapat dari pernyataan-pernyataan Ford sendiri yang menunjukkan bahwa Ford memang tidak berpengetahuan. Dan saat pemeriksaan silang fakta-fakta tersebut juga semakin kuat terbukti.
Salah satu pertanyaan pengacara Chicago Tribune pada Ford adalah “Seberapa banyak tentara Inggris yang dikirim untuk memadamkan pemberontakan di Koloni pada tahun 1776?
Dengan muka tanpa ekspresi, Ford menjawab, “Saya tidak tahu pasti jumlahnya. Tapi, yang saya dengar jumlahnya jauh lebih banyak dari pada saat dikirim pulang”.
Spontan, suara gelak tawa terdengar riuh di ruang sidang. Para juri, petugas pengadilan serta orang-orang yang menonton sidang sama-sama tertawa. Lebih-lebih pengacara yang berjuluk “Smart Aleck” yang mengajukan pertanyaan itu.
Interogasi ini dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain dalam waktu satu jam atau lebih. Tetapi Ford tetap bersikap tenang dan membiarkan Aleck terus mempermainkan dia dengan petanyaan-pertanyaan yang menghinakan sampai para pengacara itu capek sendiri.
Setelah itu, akhirnya Ford berdiri lalu menunjukkan jarinya ke arah pengacara Chicago Tribune, dan menjawab :
“Jika saya benar-benar diharuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol yang baru kalian ajukan dan pertanyaan lainnya, harap tahu saja bahwa di meja kantor saya ada banyak berjejer tombol elektronik. Dengan memencet satu tombol saja saya bisa mendapatkan orang-orang yang bisa menjawab secara tepat semua pertanyaan ini dan pertanyaan lain yang kalian tidak cukup cerdas untuk menjawabnya sendiri. Sekarang dengan rasa hormat, saya mau bertanya kepada Anda semua, mengapa saya harus memenuhi otak saya dengan begitu banyak perincian yang tidak berguna untuk sekedar menjawab setiap pertanyaan konyol, padahal saya memiliki orang-orang terbaik yang bisa memberikan semua fakta yang saya butuhkan?”
Ucapan Ford itu meluncur begitu saja diluar kepala, tetapi benar-benar terkait dengan jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan si pengacara.
Setelah itu ada keheningan total di dalam ruang sidang. Para pengacara Chicago Tribune ternganga, hakim menatap Ford dengan penuh arti, banyak juri yang terperangah menoleh kanan-kiri seperti habis mendengar sebuah ledakan.
Seorang tokoh terkemuka yang hadir pada persidangan itu mengenang, suasana itu mengingatkan dia pada pemaknaan cerita tatakala Yesus di sidang di hadapan Pontius Pilatus. Ketika ditanya Pontius Pilatus, Yesus memberi jawaban yang sangat terkenal : “Apakah kebenaran itu?”
Begitulah cerita tentang Henry Ford yang menggugah kita untuk memaknai kembali tentang pandai, pintar dan cerdas.
Selain cerita di atas kita juga mengenal cerita lain di Indoensia. Cerita ini memang cerita fiktif, namun berguna untuk membedakan bagaimana perbedaan paradigma, serta kaintannya dengan kekuatan otak kanan dan otak kiri kita.
Ada sebuah cerita :
Ada seekor katak yang akan menyeberangi sungai. Lebar sungai itu 100 m. Lompatan katak sejauh 2,5 meter untuk sekali lompat. Berapa kali lompatan agar katak itu bisa menyeberangi sungai?
Pertanyaan seperti ini mungkin sudah sering kita dengar, dan jadi bahan lelucon diantara kita. Namun, lelucon ini sebenarnya mengandung arti yang menunjukkan adanya perbedaan paradigma yang mempengaruhi seseorang untuk menjawab pertanyaan.
Orang yang cenderung menggunakan otak kiri (orang pandai/orang analitis), akan segera menghitung 100 dibagi 2,5 secara matematis. Dan akan menghasilkan jawaban 40 LOMPATAN!!! Jawaban yang tepat berdasarkan analisa otak kiri kita.
Namun di sisi lain, orang yang terbiasa menggunakan otak kanan (yang sangat jarang di Indonesia) akan segera menjawab 2 LOMPATAN!!! Di mana katak hanya butuh sekali melompat ke sungai, lalu berenang, kemudian setelah sampai di pinggir sungai yang lain, dia hanya butuh sekali lompatan. Artinya hanya ada 2 lompatan.
Orang yang terbiasa dengan otak kiri dan tidak terbiasa dengan otak kanan, akan mudah sekali menyalahkannya, atau menganggapnya sebagai sebuah lelucon. Sehingga akan mentertawakan jawaban tersebut.
Mana yang benar?
Dalam pelajaran sekolah, kita dijejali dengan menerima satu jawaban benar. Mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Dan melupakan bahwa selalu ada kemungkinan untuk munculnya jawaban-jawaban lain. Karena kedua jawaban terebut pada dasarnya mengandung kebenaran tergantung dari cara kita melihatnya.
Orang cerdas tidak akan menyalahkan dan membenarkan salah satunya. Toh, kedua-duanya memang benar menurut cara berpikirnya masing-masing.
Justru, kita akan salah kalau kita membenarkan dan menyalahkan tanpa melihat dulu cara berpikir atau paradigma orang lain.
Sayang sekali memang, dunia pendidikan kita, mainstream (paradigma utama) yang ada cenderung hanya memperkuat kekuatan otak kiri. Sementara pengembangan otak kanan masih sangat kurang.
Dampak dari paradigma pendidikan yang terjadi sekarang ini adalah minimnya kreatifitas yang dimiliki oleh orang-orang yang “berpendidikan”. Mudah sekali kita temukan sarjana yang tidak berdaya untuk mencari penghasilan/pendapatan/pekerjaan karena tidak adanya lapangan pekerjaan. Logika mendapatkan uang “hanya” dengan menjadi pekerja telah terlalu kuat tertanam sejak masih di sekolah dasar.
Sudah saatnya kita belajar tentang paradigma dan implikasinya yang akan membuka wawasan dan menambah kecerdasan, dan mampu membuat perubahan. Perubahan yang dimulai dari dalam diri sendiri, serta memahami bahwa masalahnya bukan apa yang ada di luar sana, tetapi apa yang ada dalam diri kita.