Resiko Menjadi Pekerja

by hdnetz , at 20.47.00 , have 0 komentar



Resiko Menjadi Pekerja

 
 
Kebanyakan orang berpikir bahwa bisnis (wirausaha) itu terlalu beresiko, dan bekerja atau menjadi pekerja tidak banyak resiko. Benarkah demikian???

Cobalah melihat statistik yang dibuat oleh sebuah industri asuransi di Amerika Serikat. Dari 100 orang yang pensiun hari ini :
  • 1 orang (1 %) akan menjadi kaya
  • 4 orang (4%) akan bebas secara finansial
  • 15 orang (15%) akan mempunyai tabungan
  • 80 orang (80%) tergantung sama dana pensiun, tetap bekerja atau menjadi bangkrut.
Orang-orang di atas telah bekerja dengan gaji tinggi seumur hidup di lingkungan yang paling berpengaruh (eksekutif di banyak perusahaan).
Bagaimana dengan para pekerja yang biasa-biasa saja, dengan gaji yang pas-pasan? Bagaimana dengan para pekerja di Indoensia?
Pernahkah kita memperhatikan di sekeliling kita, di mana banyak orang saat bekerja mereka terlihat kaya, namun begitu pensiun, tidak lama kemudian mereka menjadi miskin/bangkrut?
Salah satu faktor utama mengapa itu terjadi adalah, kebanyakan orang tidak mampu atau tidak mau melihat dan membuat tujuan jangka panjang. Mereka selalu berpikir, hari ini punya uang berapa dan akan digunakan untuk apa. Mereka tidak tahu bagaimana menyederhanakan keperluan dan bahkan bagaimana menginvestasikan uangnya.
Pola pikir seperti ini, akan membuat berapapun uang yang dipegang akan selalu habis. Sebuah contoh cerita kasus :
Abu berumur 30 tahun bekerja pada sebuah perusahaan dengan pendapatan yang cukup lumayan, sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Uang itu sebenarnya cukup, bahkan bisa disisakan untuk kebutuhan jangka panjang, karena Abu dan keluarganya tinggal di sebuha kota kecil. Namun apa yang terjadi?
Uang Abu selalu habis, karena hidupnya yang konsumtif, dan berorientasi pada mencari kesenangan, bahkan uangnya telah habis sebelum dia mendapatkan gaji bulan berikutnya. Pengeluaran uangnya menjadi seperti ini :
  • 2 juta untuk cicilan rumah dan motor.
  • 750 juta untuk keperluan sekolah 2 anaknya.
  • 1 juta untuk kebutuhan belanja sehari-hari.
  • 750 ribu untuk pembantu, listrik, dan telepon.
Kalaupun ada tunjangan atau bonus dari perusahaan akan segera habis untuk biaya rekreasi atau berlibur bersama keluarga.
Terlihat dengan jelas, betapa uang sebesar itu menjadi begitu kurang. Karena kebiasaan untuk menghabiskan uang sudah menjadi mentalnya.
10 tahun kemudian,  ketika Abu sudah berumur 40 tahun, gajinya sudah naik menjadi 7,5 juta. Namun, gajinya terasa pas-pasan. Pengeluaran bulanannya menjadi seperti ini :
  • 1,5 juta untuk cicilan mobil
  • 1,5 juta untuk cicilan rumah, (pinjaman uang untuk renovasi rumah menjadi lebih besar dan bagus).
  • 1,5 juta untuk kebutuhan sekolah 2 anaknya.
  • 1,5 juta untuk kebutuhan sehari-hari. (kadang-kadang makan di restorant)
  • 1,5 juta untuk pembantu, biaya listrik dan telepon (yang semuanya semakin membesar).
Tentu saja gaji bulanan segera habis setiap bulannya, atau bahkan habis sebelum gaji bulan berikutnya. Bonus (insentif) dari perusahaan juga selalu dihabiskan, karena kebutuhan-kebutuhan mendesak di luar pengeluaran rutin, seperti ada anggota keluarga yang sakit, service mobil, mengganti ornamen rumah dan isisnya dan lain-lain.
20 tahun kemudian, di saat umurnya telah mencapai 50 tahun. Gajinya sudah mencapai 10 juta per bulannya. Dia memiliki keinginan untuk membeli sebuah rumah yang akan di berikan kepada 2 anaknya yang mau menikah. Pengeluaran untuk kebutuhan anak-anaknya sudah tidak ada karena anaknya yang satu sudah bekerja dan merencakan untuk berkeluarga, sedang yang satunya masih kuliah di sebuah perguruan tinggi. Dia beli sebuah rumah dengan cicilan selama 10 tahun. Bagaimana pengeluaran bulanannya?
  • 2,5 juta untuk cicilan rumah (rumah baru untuk diberikan pada anaknya)
  • 2,5 juta untuk cicilan mobil (mobil baru yang lebih bagus, karena mobil lama sudah tidak enak dipakai).
  • 1 juta untuk kebutuhan kuliah anaknya.
  • 2,5 juta untuk kebutuhan sehari-hari (semakin tua kebutuhan makan dan jalan-jalan/ rekereasi semakin sering)
  • 500 ribu untuk biaya perawatan kesehatan keluarga. (semakin tua sudah semakin sakit-sakitan)
  • 1,5 juta untuk pembantu, biaya listrik, telpon dan operasional lainnya.
5 tahun kemudian, atau umur 55 tahun ketika Abu pensiun, dia mendapatkan pesangon cukup besar 450 juta (45 kali gaji). Uang yang cukup besar untuk orang rata-rata. Segera dia merencanakan penggunaan uangnya.
  • 100 juta untuk melunasi rumah baru yang dia beli.
  • 50 juta untuk rehab rumah.
  • 75 juta untuk mengganti mobilnya dengan yang baru. (mobil lama sudah terasa tidak nyaman, apalagi karena umurnya sudah semakin tua)
  • Sisanya 225 juta akan di tabung dan dinvestasikan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Abu merencanakan bahwa uang itu cukup untuk bekal di hari tuanya.
Baca Juga : Usb Flashdisk tidak Terbaca

Namun apa yang terjadi dengan uang 225 juta?
  • 200 juta dia investasikan untuk kos-kosan. Memiliki 12 kamar. Perkama 300 ribu per bulan. Dia punya uang 3,6 juta tiap bulan.
  • 25 juta sisanya untuk hidup selama 1 tahun, karena kos-kosan perlu waktu sampai laku semua.
  • Karena sadar akan segera memasuki masa pensiun, Abu segera merubah kebiasaan pengeluaran rutin bulanan menjadi 3 juta per bulan. Semula hal itu terasa berat karena terbiasa dengan gaya hidup yang tinggi (10 juta tiap belum belum bonus), sehingga penyederhanaan ini semula atau 2 tahun pertama membuat dia tersiksa.
  • 30 juta biaya tambahan untuk menikahkan anaknya. Kebutuhan tidak terencana, dan terpaksa Abu pinjam di bank.
  • 25 juta pinjam di bank lagi, karena istri Abu tiba-tiba sakit, dan membutuhkan perawatan di rumah sakit. Dulunya anggota keluarganya sudah diasuransikan, namun sekarang, dia sudah tidak memiliki asuransi.
  • 1 juta per bulan menjadi pengeluaran rutin untuk perawatan kesehatan istrinya, dan dirinya sendiri karena mulai sering sakit-sakitan.
Berikutnya, pada umur 60 tahun, usaha kos-kosan memberi pendapatan bulanan sebesar 3,5 juta, karena harga kos yang naik. Semula dia berpikir bahwa dengan uang 3,5 juta sudah cukup untuk keperluan bulanannya.
Namun, apa yang terjadi?
Banyak pengeluaran yang tidak terduga di hari tua, sehingga banyak hutang yang harus ditanggung. Abu menjadi tergantung dengan anaknya yang sudah berkeluarga dan telah meniti karir kerja yang cukup mapan. Anaknya yang satu lagi sudah berkeluarga namun belum mendapatkan gaji seperti yang diharapkan. Artinya, Abu dan istrinya sekarang menjadi hidup seadanya. Rumahnya yang cukup besar juga menjadi beban dan  merepotkan karena membutuhkan pemeliharaan yang tidak kecil.
Dia menyesal, kenapa dulu tidak membuat perencanaan untuk kebutuhan masa depannya? Dan menabung sejak dulu-dulu?
Dia menyesal, kenapa dari dulu dia tidak belajar untuk membuat usaha sampingan atau menginvestasikan uangnya? (Usaha kos-kosan menjadi tidak berkembang, karena pendapatan dari usaha itu juga selalu habis untuk menutup kebutuhan bulanannya, atau tidak ada uang sisa untuk mengembangkan usahanya)
Dia menyesal kenapa dulu dia terlalu boros dan konsumtif, dan tidak mampu menyederhanakan keperluannya?
Dia menyesal, karena keinginannya untuk naik haji sampai sekarang belum terlaksana. Dia menyesal, kenapa tidak banyak bersedekah? Menyumbang masjid atau yatim piatu?
Dia menyesal, karena telah begitu banyak menyia-nyiakan masa mudanya untuk hal-hal yang boros dan mubadzir, tidak produktif dan hanya mencari kesenangan sesaat.
Pada umur 65 tahun, setelah menghadapi kehidupan yang memprihatinkan (menurut ukuran Abu) selama hampir 3 tahun, telah memaksanya untuk mampu menerima kenyataan hidupnya sekarang. Dia mulai belajar hidup sederhana, agar tidak menjadi beban anaknya. Sekalipun Abu tahu, salah satu anaknya sudah bekerja bekerja dengan mapan, dan selalu mau membantu dirinya.
Dia juga masih merasa beruntung, sekarang dia kenal dengan seorang ustad dan mulai bisa belajar agama. Sehingga, sekalipun hidup sederhana dan pas-pasan di masa tuanya,  dia bisa menjalaninya. Banyaknya sahabatnya yang setelah pensiun malah hidupnya semakin tidak karuan dan jauh dari agama.
Begitulah nasib Abu, memang tidak ekstrim. Namun tetap saja setelah dia bekerja dengan gaji tinggi seumur hidup, seringkali sampai pulang larut malam, tetap saja dia berakhir sebagai orang yang biasa-biasa saja, bahkan nyaris bangkrut dan hidup apa adanya. Banyak keinginannya yang tidak tercapai. Masa mudanya juga lebih banyak mencari kesenangan sesaat, dan tidak banyak bermanfaat untuk orang lain.
Para pekerja lainnya bahkan ada yang bernasib lebih tragis, karena anak-anaknya tidak sukses, dan bahkan bermasalah.
Dan masih banyak lainnya………………………
Benarkah bekerja lebih aman dari pada wirausaha (bisnis sendiri)?

Baca Juga : Kelebihan dan Kekurangan Database

Banyak orang bilang bahwa menjadi dokter itu enak dan menyenangkan, karena bisa mendapat uang banyak tanpa harus keluar rumah. Yang paling banyak jadi perhatian adalah dokter yang membuka praktek kerja di rumah, yang secara social dan materi rata-rata memiliki kehidupan yang cukup. Banyak sekali orang tua yang berkeinginan dan berharap agar anaknya bisa masuk fakultas kedokteran. Bahkan seringkali para orang tua agak memaksa dengan terus menerus membujuk anaknya agar mau masuk kedokteran, tidak perduli apakah anaknya suka atau tidak.
Benarkah menjadi dokter adalah pekerjaan yang enak dan menyenangkan?
Benarkah jadi dokter adalah cara terbaik menjadi orang kaya dan sukses?
Benarkah jadi dokter merupakan investasi aman dan menguntungkan?

Coba kita lihat dengan paradigma yang lain. Tulisan ini, bukan untuk menilai buruk atau baiknya profesi seorang dokter, namun hanya untuk melihat profesi dokter dari cara pandang yang lain. Sehingga kita memiliki perspektif dan cara pandang yang lebih luas tentang dunia kedokteran dan masa depannya, dan tidak mengorbankan anak-anak kita yang barangkali benar-benar tidak menginginkannya.
Kita bisa menggunakannya untuk memotivasi diri kita sendiri yang ingin menjadi pengusaha dan sedang mengalami kebuntuan dan pesimisme.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar seseorang menjadi dokter dan bisa membuka praktek di rumah sendiri?
Lulus menjadi dokter muda : 4 sampai 6 tahun
Praktek untuk meraih gelar dokter : 2 sampai 4 tahun.
Masa pengabdian : 3 tahun (untuk mendapatkan izin praktek)
Atau bisa dikatakan sampai mendapatkan ijin praktek dibutuhkan waktu paling cepat 9 tahun, serta investasi biaya yang harus ditanggung orang tua yang relatif lebih besar dibandingkan dengan kuliah di jurusan non kedokteran.
Sayang sekali banyak orang tua yang apabila ada anaknya sedang membangun usaha, dan ternyata setelah 2 sampai 4 tahun belum sukses, mereka akan segera terburu-buru untuk menyuruh anaknya berhenti bisnis.
Berapa waktu yang dibutuhkan agar seorang dokter mendapat mendapat banyak pasien serta menjadi kaya?
Seorang dokter setelah mendapat izin praktek di rumah sendiri, mereka akan melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di sekitar dia tinggal. Pelayanan kesehatan ini menjadi pekerjaan untuk mencari uang sekaligus promosi. Kalau pelayanannya bagus dan promosinya sukses, maka akan mampu mendatangkan banyak pasien (klien/konsumen/pelanggan). Namun kalau tidak berhasil, maka tempat praktek mereka senantiasa akan sering sepi, dan masih menunggu waktu yang lama.
Itupun belum menjamin semua semua dokter sukses dan kaya. Apalagi pada era sekarang di mana dari tahun ke tahun semakin banyak dokter yang lulus dari perguruan tinggi dan siap bersaing. Kecuali kalau mau memilih untuk mengabdi disebuah desa yang terpencil, yang tidak ada dokter lainnya.
Apakah kerja seorang dokter enak dan menyenangkan?
Belum tentu. Kecuali bagi dokter yang benar-benar menjiwai dan memiliki niat untuk mengabdikan profesinya untuk menolong orang lain. Sementara untuk dokter yang hanya mencari kekayaan melalui profesinya, maka mereka akan menemukan bahwa mereka benar-benar terjebak sebuah siklus bekerja yang melelahkan.
Kebanyakan dokter rela mengorbankan waktu-waktu pribadi dan keluarganya untuk mengurusi pasien. Waktunya bahkan dimulai dari pagi sekali, siang kerja di rumah sakit, dan malamnya praktek lagi. Semakin banyak uang yang ingin di dapatkan, maka dokter tersebut akan bekerja semakin keras, dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja.
Hal ini disebabkan dokter (seperti para profesional lainnya) adalah pekerjaan yang tidak tergantikan oleh orang lain yang bukan seprofesi. Misalnya seorang dokter tidak bisa mendelegasikan kepada istri/suaminya yang bukan dokter untuk menangani seorang pasien.
Padahal, kalau seorang dokter tidak mampu memberikan pelayanan yang baik kepada pasiennya, maka secara perlahan-lahan mereka akan ditinggalkan. Mereka pun harus terus belajar menjadi seorang penjual yang baik.
Apakah seorang dokter yang membuka praktek di rumah, dan menjadi kaya, bisa dikategorikan
sebagai pengusaha sukses?

Dari sudut pandang pengusaha, dokter seperti itu bukanlah termasuk pengusaha sukses. Kebanyakan dokter termasuk kategori pekerja lepas, sekalipun bekerja secara mandiri dan tidak bekerja pada orang lain, namun mereka tidak memiliki sistem yang bisa menjalankan usaha mereka. Semakin banyak uang yang ingin mereka dapatkan, mereka akan semakin keras bekerja, semakin banyak pasien yang dilayani, dan semakin banyak jam kerja.
Kalaupun para dokter itu memiliki pekerja atau karyawan, sifatnya lebih sebagai asisten atau pembantu, yang tidak mungkin menggantikan tugas-tugas utama seorang dokter. Para pekerja lepas tidak akan mendapatkan uang atau keuntungan kalau mereka tidak bekerja, atau sedang cuti/libur kerja. Mereka tidak memiliki sistem bisnis, dan menjadikan dirinya sendiri menjadi sistemnya.
Kecuali seorang dokter  yang sekaligus seorang pengusaha. Sekalipun jumlahnya sedikit, namun beberapa dokter adalah seorang pengusaha sukses. Usaha yang dikembangkan kebanyakan tidak jauh dari dunia kesehatan masyarakat, seperti mendirikan klinik, rumah bersalin, rumah sakit atau apotek. Yang mampu mempekerjakan banyak orang, dengan mengembangkannya menjadi sebuah sistem bisnis yang mampu berjalan tanpa kehadiran mereka.
Dokter yang jadi pengusaha pun rata-rata mengalami jatuh bangunnya seorang pengusaha sebelum mencapai kesuksesan.  Mereka juga pernah mengalami kesulitan modal, susahnya menghadapai persaingan bisnis, sulitnya mendapat pasien yang banyak, pendapatan yang tidak mencukupi operasional dan kesabaran dalam menjalani proses.
Sayang sekali memang bahwa banyak pengusaha pemula, yang tidak sesabar seperti para dokter dalam menjalankan usaha karirnya. Padahal kalau mau tekun, ulet dan sabar akan sampai juga pada sebuah keberhasilan, yang lebih besar dari seorang dokter. Hampir 95% pengusaha pemula tidak mampu bertahan dalam waktu 5 tahun. Bahkan yang 80% hanya sanggup betahan selama 2 tahun.
Semoga tulisan ini bisa menjadi tambahan motivasi, sekaligus menjelaskan kembali bahwa tidak ada bisnis yang instan, atau ingin cepat sukses bukanlah mental pengusaha. Menurut Bryan Tracy dibutuhkan waktu 5 – 7 tahun agar seseorang benar-benar menjadi ahli dibidangnya. Jadi, kalau kita belum sukses setelah 4 atau 5 tahun dalam bisnis yang kita bangun, kita masih memiliki waktu untuk terus bertahan dan meneruskannya. Kesuksesan benar-benar menjadi milik orang yang terus berusaha dan tidak patah semangat.

MENGHADAPI KEGAGALAN

Kegagalan adalah sukses yang bertunda, itu kata orang tetapi sebenarnya atau kenyataannya tetap akan menyisakan rasa sedih dan kecewa berdasarkan pengalaman pribadi, ketika gagal dalam suatu persaingan yang berupa lomba, perasaan yang timbul adalah perasaan kecewa, sedih dan penyesalan.
Kecewa karena apa yang terjadi tidak seperti yang diharapkan, ingin sukses, ingin terbaik malah gagal yang diraih. Sedih karena tidak bisa memenuhi harapan diri sendiri karena tidak bias memenuhi target, kadang timbul penyesalan mengapa harus ikut lomba, padahal kalau tidak ikut lomba tidak akan muncul perasaan sedih dan kecewa.
Akhirnya timbul pertanyaan, mengapa ada kegagalan ?
Setelah ditelaah dan disadari dengan hati yang ikhlas, kegagalan terjadi karena beberapa hal, antara lain :
1.      Tuhan Y.M.E memberikan kemampuan kepada manusia berbeda – beda, ada yang lebih, sedang atau kurang. Kita perlu menyadari hal ini sehingga kita bisa instropeksi diri, kita termasuk ke dalam kelompok mana dalam bidang yang dilombakan itu.

2.      Usaha yang tidak maksimal.
Walaupun Tuhan Y.M.E telah memberikan kemampuan yang berbeda – beda tapi usaha adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan oleh manusia untuk memperoleh sesuatu yang didambakan.
Walaupun kemampuan kita lebih tapi diasah dengan baik maka sangat disayngkan karena tidak akan terlihat kelebihan kita. Sebaliknya, walau kemampuan kita sedang, tapi diasah dengan, dilatih dengan maksimal dan terus menerus maka akan menghasilkan sesuatu yang maksimal pula.

3.      Puas dengan keadaan yang ada.
Perasaan puas dengan keadaan yang ada adalah sesuatu yang akan mengubur kesuksesan kita karena kita akan menjadi malas untuk berusaha labih baik.

4.      Percaya pada opini orang sekeliling kita.
Mungkin karena kita dianggap pintar dan mampu, biasanya orang sekeliling kita akan memuji sekaligus mengungulkan kita dan merasa optimis terhadap apa yang akan diraih.
Hal tersebut bisa menjadi motivator sekaligus beban dan kadang justru akan menjerumuskan kita karena kita ikut terbawa optimis dan jadi lupa belajar.

5.      Perasaan menggap sepele
Apabila dalam hati sudah ada perasaan merendahkan atau menganggap sepele bidang yang akan kita hadapi, maka akan melemahkan usaha dan proses belajar kita karena telag beranggapan tidak ada yang istimewa.

6.      Motivasi yang kurang
Apabila kita mengikuti lomba, faktor yang tak kalah penting adalah motivasi disir sendiri dan dari lingkungan kita.
 
Bagaimana menghadapi kegagalan ?
Ada beberapa hal yang bisa dikemukakan, antara lain :

1.  Kita harus ikhlas menerima takdir dari Tuhan Y.M.E bahkan kita belum diperkenalkan jadi pemenangnya.
2. Kita harus menyadari pula bahwa ada hukum lomba / pertandingan yaitu ada yang menang ada yang kalah. Masa semua harus menang dan tidak ada yang kalah
3. Bangkitkan semangat untuk lebih baik pada kesempatan yang akan datang, dijadikan yang sekarang sebagai pengalaman
4. Jadikan kegagalan sekarang sebagai cermin yang akan datang, bahwa kalau mau menang janggan seperti yang sekarang kita lakukan.
5.  Bersikap jujur dan mengakui kelebihan orang lain.
6. Ambil hikmah dari semua yang terjadi bahwa sesuatu yang kita harapkan belum tentu sesuai kenyataan. Jadi kita harus selalu siap menghadapi kegagalan yang pahit.
7. janggan menyalahkan diri sendiri karena akan mengakibatkan frustasi dan putus asa.
8.  Selalu bersyukur atas sesuatu yang kita terima karena inilah takdir kita.
9.  Tetap berterima kasih kepada semua orang yang telah mendukung kita.
10.  Meminta maaf atas kegagalan kita kepada semua pihak yang telah mendukung kita, dengan demikian kita tidak akan merasa terus bersalah.
 Mereka akan mengerti kok dan tetap mendukung kita.

Demikian seputar “ Kegagalan “, semoga yang pernah merasa kegagalan, setelah membaca ini artikel ini tidak akan bersedih dan kecewa lagi.
Mari kita terima segala sesuatu dengan lapang dada dan ikhlas, yang terpenting semoga Tuhan Y.M.E selalu bersama kita. Amien

Baca Juga : Menu Makanan Penderita Hepatitis
Resiko Menjadi Pekerja
Resiko Menjadi Pekerja - written by hdnetz , published at 20.47.00, categorized as Wirausaha . And have 0 komentar
No comment Add a comment
Cancel Reply
GetID
Copyright ©2013 Knowledge for Life by
Theme designed by Damzaky - Published by Proyek-Template
Powered by Blogger
-->